Pembuktian Penghinaan Lewat Facebook, Perlukah Keterangan Ahli?
Delik penghinaan dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) pada dasarnya merupakan bentuk lain atau perluasan dari delik penghinaan dalam Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(“KUHP”), khususnya yang berkaitan dengan penghinaan dengan penggunaan
sarana elektronik. Namun demikian, menurut pendapat kami, Pasal 310 KUHP
tetap dapat digunakan sebagai dasar atas delik penghinaan karena
sifatnya yang generalis. Penerapannya pun selain dapat berdiri sendiri
juga dapat dikumulasikan dengan pasal penghinaan dalam UU ITE, sehingga
dapat diterapkan pada segala macam bentuk penghinaan baik bersifat
konvensional maupun yang menggunakan sarana elektronik.
Perbedaan
mendasar adalah pada ketentuan sanksi pidananya. Sanksi pidana dalam
Pasal 310 KUHP adalah pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana denda paling banyak Rp4.500,-. Sedangkan, sanksi pidana Pasal 27
ayat (3) lebih berat yakni pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (lihat Pasal 45 UU ITE).
Perlu
kami sampaikan, dalam proses penyidikan dan penuntutan, penerapan
beberapa unsur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE maupun penerapan Pasal 310
KUHP secara materiil pada prinispnya adalah sama. Keduanya harus
dibuktikan dengan adanya “unsur muatan penghinaan” dan “unsur kesengajaan”. Unsur yang dianggap tidak mudah untuk dibuktikan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah unsur mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi/Dokumen Elektronik.
Pembuktian unsur tersebut yang seringkali tidak dapat dilakukan sendiri
oleh penyidik. Kesulitan lain dalam penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE
sering terjadi pada saat pembuktian terhadap kebenaran/integritas
perangkat sistem elektronik atau informasi/dokumen elektronik yang
menjadi barang bukti (baik sebagai alat maupun sarana) perbuatan pidana.
Untuk membuktikan hal tersebut, dibutuhkan pengetahuan yang baik dari
penyidik terhadap teknologi informasi.
Keterangan Ahli ITE
Sebelumnya,
perlu kami sampaikan bahwa istilah yang digunakan oleh peraturan
perundang-undangan adalah ahli dan keterangan ahli, bukan istilah saksi
ahli seperti yang Anda gunakan. Penjelasan selengkapnya silakan simak
artikel Klinik hukumonline: Bolehkah Menolak Panggilan Sebagai Ahli dalam Persidangan?
Ahli
bidang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bisa berupa ahli hukum
UU ITE dan ahli teknis terkait ITE. Penggunaan ahli ITE, menurut
pendapat kami, seharusnya tidak selalu diperlukan dalam kasus
pidana yang berhubungan dengan teknologi informasi. Sepanjang kewajiban
pembuktian lain telah cukup/terpenuhi, seharusnya ahli ITE tidak
diperlukan lagi. Terkecuali dalam hal penyidik maupun penuntut umum
merasa rancu atau bingung dalam menafsirkan pasal-pasal dalam UU ITE
atau tidak cukup keyakinan untuk memahami/menilai bukti digital, maka
keterangan dari ahli ITE (ahli hukum/ahli forensik digital) mutlak
diperlukan. Menurut persepsi kami, jika hakim dapat memutus delik
penghinaan secara konvensional tanpa perlu keterangan seorang ahli, maka
semestinya hakim juga dapat memiliki keyakinan yang memadai untuk
memutus delik penghinaan dengan sarana elektronik tanpa harus adanya
keterangan seorang ahli. Karena banyak hal-hal yang bersifat umum dalam
pemanfaatan teknologi informasi yang menurut pendapat kami tidak
memerlukan keahlian khusus untuk memahaminya (misalnya penggunaan SMS,
jejaring sosial, dll.).
Hal tersebut juga sesuai Pasal 120 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang mana penggunaan keterangan ahli tidak bersifat wajib atau hanya jika dianggap perlu oleh penyidik. Bunyi Pasal 120 KUHAP adalah sebagai berikut:
“Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”
Demikian pendapat kami, semoga bermanfaat.
Terima kasih.
Dasar Hukum:
0 komentar: