HUKUM UNTUK ORANG GILA
Dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
a. Alasan pembenarberarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu
tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi
perbuatannya (objektif). Misalnya, tindakan 'pencabutan nyawa' yang
dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana mati (Pasal 50 KUHP);
b. Alasan pemaafadalah alasan yang menghapus kesalahan
dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap
melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi
orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau
gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP).
Mengenai alasan pemaaf dapat dilihat dari bunyi Pasal 44 ayat (1) KUHP:
“Tiada
dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau
sakit berubah akal.”
Kemudian, Pasal 44 ayat (2) KUHP berbunyi:
“Jika
nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab
kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim
memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu
tahun untuk diperiksa.”
Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal.
60-61) sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya
tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya adalah karena:
a. Kurang
sempurna akalnya. Yang dimaksud dengan perkataan “akal” di sini ialah
kekuatan pikiran, daya pikiran, dan kecerdasan pikiran. Orang dapat
dianggap kurang sempurna akalnya, misalnya: idiot, imbicil, buta-tuli,
dan bisu mulai lahir. tetapi orang-orang semacam ini sebenarnya tidak
sakit, tetapi karena cacat-cacatnya sejak lahir, maka pikirannya tetap
sebagai kanak-kanak.
b. Sakit
berubah akalnya. yang dapat dimasukkan dalam pengertian ini misalnya:
sakit gila, histeri (sejenis penyakit saraf terutama pada wanita),
epilepsi, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya.
Berdasarkan
cerita Anda, orang gila tersebut hampir melakukan tindak pidana
perkosaan yang mana dalam KUHP dikenal sebagai percobaan. Percobaan
tindak pidana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
“Percobaan
untuk melakukan kejahatan terancam hukuman bila si pembuat sudah nyata
dengan dimulainya perbuatan itu dan perbuatan itu tidak jadi sampai
selesai hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauannya
sendiri.”
R.
Soesilo berpendapat menurut arti kata sehari-hari yang diartikan
percobaan yaitu menuju ke suatu hal akan tetapi tidak sampai pada hal
yang dituju itu, atau hendak berbuat sesuatu. Percobaan dapat dihukum
apabila memenuhi syarat-syarat (hal. 68-69):
a. niat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu
b. orang sudah memulai berbuat kejahatan itu
c. perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai oleh karena terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian.
Anda
menceritakan bahwa orang gila tersebut berusaha memperkosa wanita dan
wanita tersebut berhasil melarikan diri. Ini berarti percobaan melakukan
tindak pidana telah terjadi (memenuhi ketiga syarat di atas) dan KUHP
menyatakan bahwa itu sudah masuk lingkup tindak pidana.
Dalam
hal percobaan, maksimum hukuman adalah maksimum hukuman utama kejahatan
dikurangi sepertiganya. Dengan demikian, orang yang melakukan percobaan
tindak pidana tersebut dapat dipidana maksimum sebesar pidana perkosaan
yang diatur dalam Pasal 285 KUHP yakni penjara 12 tahun, dikurangi
dengan sepertiga dari 12 tahun sehingga ancaman pidana maksimum untuk
pelaku percoban perkosaan adalah:
12 tahun – 4 tahun = 8 tahun
Berkenaan
dengan kondisi kejiwaan terdakwa, menurut R Soesilo (hal. 61), hakimlah
yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu meskipun ia dapat pula
meminta nasehat dari dokter penyakit jiwa. Jika hakim berpendapat bahwa
bahwa orang itu betul tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya,
maka orang itu dibebaskan dari segala tuntutan pidana (ontslag van alle rechtsvervolgin).
Tetapi, untuk mencegah terjadinya hal serupa yang membahayakan baik
keselamatan orang gila tersebut maupun masyarakat, hakim dapat
memerintahkan agar orang tersebut dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa
selama masa percobaan maksimum satu tahun untuk dilindungi dan
diperiksa.
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat diketahui bahwa hakim menjatuhkan putusan
dapat dipertanggungjawabkan atau tidaknya perbuatan terdakwa atas dasar
kuasanya dan dapat pula meminta nasehat dari dokter penyakit jiwa namun
tidak terbatas saat di persidangan saja Pasal ini tidak menjelaskan
keharusan dokter penyakit jiwa memberikan nasehatnya di persidangan.
Jadi tidak heran bahwa dalam praktiknya nasehat dari dokter penyakit
jiwa dapat didapat dari keterangannya di persidangan dan didapat juga
dari surat medis dari rumah sakit tempat diperiksanya terdakwa.
Pada
praktik di persidangan, mengenai pembuktian terganggu jiwanya seorang
terdakwa berdasarkan keterangan ahli kejiwaan dapat kita jumpai dalam
kasus seorang oknum militer yang melakukan tindak pidana pembunuhan.
Sidang Mahkamah Militer mengadili terdakwa seorang sersan mayor polisi
Polda Nusra yang melakukan penembakan terhadap tiga orang hingga
meninggal dunia. Berdasarkan keterangan saksi ahli Dokter Jiwa yang
diuraikan dalam persidangan, ternyata terdakwa mengalami stress berat
sehingga mengalami gangguan “amok” (suatu keadaan jiwa yang tidak sadar)
waktu melakukan penembakan. Orang semacam ini telah terganggu pikiran
sehatnya (ziekelijk storing derverstandelijk vermogens). Oleh karena itu, ia tidak memiliki unsur kesalahan sehinggal Pasal 44 KUHP dapat
diterapkan dalam kasus ini. Mahkamah Agung dalam putusannya No.
33.K/Mil/1987 tanggal 27 Februari 1988 menyatakan bahwa terdakwa tidak
terbukti dengan sah dan meyakinkan sehingga dilepas dari segala tuntutan
hukum.
Sementara, dalamPutusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 215 K/Pid/2005 informasi mengenai kondisi kejiwaan terdakwa bukan berasal dari keterangan ahli kejiwaan di persidangan. Dalam perkara tersebut, majelis hakim mendapatkan informasi mengenai status kejiwaan terdakwa berdasarkan
Surat dari Rumah Sakit Jiwa Dadi Makassar yang menyatakan bahwa
terdakwa adalah orang kurang waras (kurang mampu berpikir secara baik).
Berdasarkan pertimbangan itu, terdakwa dinyatakan telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tetapi oleh karena
terdakwa adalah orang kurang waras berdasarkan Surat dari Rumah Sakit
tersebut, maka sesuai ketentuan pasal 44 KUHP, terdakwa tidak dapat
dijatuhi pidana dan dilepas dari tuntutan hukum.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Putusan:
2. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 33.K/Mil/1987
Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
0 komentar: